Senin, 11 Oktober 2010

Agar Hidup Lebih Bermakna


Oleh: Abdul Rojak Lubis*

Ada dua tahun baru yang sudah dilewati; tahun baru Islam (Hijriyah) dan tahun baru Masehi. Ini menunjukkan hitungan tahun dan hitungan umur manusia sudah bertambah. Namun, jatah hidup manusia semakin berkurang, artinya sudah semakin dekat dengan kematian.

Perlu untuk direnungkan dan dipertanyakan kepada diri sendiri, sudah siapkah diri ini untuk menghadapi kematian?. Mungkin, sebagian besar akan menjawab; belum siap, karena bekal yang dipersiapkan belum cukup untuk dibawa mati. Justru itu, selagi masih diberi kesempatan hidup oleh Allah Swt., maka kesempatan itu harus dipergunakan sebaik-baiknya.
Sebagian orang salah dalam menerjemahkan tahun baru, mereka merayakannya dengan begadang semalam suntuk, berhura-hura, berbuat mesum, mabuk-mabukan dan perbuatan maksiat lainnya. Perbuatan ini hanya menyiksa diri, merusak kesehatan, merusak hubungan sosial kemasyarakatan (hablum minannas) dan merusak hubungan dengan Allah Swt (hablum minallah).
Untuk menghindari hal ini, ada metode yang ditawarkan oleh Dr. Musthafa as-Siba’i agar terhindar dari kemaksiatan, yaitu; jika jiwamu ingin mengajak kepada kemaksiatan, ingatkanlah ia kepada Allah. Jika ia belum mau kembali juga, ingatkanlah ia pada budi pekerti orang ternama. Kemudian, jika belum kembali juga, ingatkanlah ia pada aib yang akan menimpanya bila diketahui oleh orang lain. Dan jika belum kembali juga, maka ketahuilah bahwa pada saat itu engkau telah menjadi seekor binatang.
Jika direnungkan dan dihayati, malu rasanya melakukan kemaksiatan dan kemunkaran. Sebab, orang yang gemar melakukan maksiat diibaratkan seekor binatang. Padahal, manusia itu merupakan ciptaan Allah yang paling sempurna, yang diberi akal fikiran untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Akhlak yang buruklah yang menjatuhkan martabat manusia serendah mungkin (sejajar dengan binatang), bahkan lebih rendah dan lebih hina daripada binatang.
Orang yang gemar melakukan maksiat, hubungannya dengan Allah Swt akan semakin jauh. Dan untuk mendekatkan diri kembali (taqarrub ilallah) dan mempererat hubungan dengan Allah, maka yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan (revolusi diri) ke arah yang lebih baik. Dan perubahan tidak akan pernah terjadi pada diri seseorang, selama dirinya tidak mau berubah. Hal ini disinyalir Allah dalam al-Qur’an, “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (lihat QS. ar-Ra’du: 11).
Berdasarkan ayat di atas, ada dua macam potensi yang bisa melakukan perubahan terhadap diri manusia. Pertama, potensi dari diri manusia itu sendiri, yaitu jika seseorang ingin mengubah nasib atau mengubah perilaku buruk menjadi baik, maka manusia punya potensi untuk melakukannya. Kedua, potensi dari Allah Swt, yaitu ketetapan mutlak dari Allah yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun, potensi ini dinamakan dengan ketetapan (qada) dari Allah Swt.
Dalam melakukan perubahan hendaklah tidak menunda waktu. Sebab, tidak seorang manusia pun yang tahu kapan ia akan dijemput kematian. Justru itu, sebelum dijemput ajal (kematian), hendaklah mempersiapkan diri agar mati husnul khatimah. Inilah yang selalu didambakan setiap orang yang beriman.
Meskipun demikian, pada prinsipnya setiap manusia pasti menginginkan hidupnya diakhiri dengan mati husnul khatimah, walaupun dirinya bukanlah orang yang beriman. Namun, tidak sedikit manusia yang bernasib malang, hidupnya diakhiri dengan mati su’ul khatimah. Realitasnya memang demikian, tapi nasib malang yang dialaminya karena dirinya sendiri, tidak mau melakukan perubahan.
Barangkali, kesempatan hidup ini sudah selayaknya untuk disyukuri, dengan cara meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kepada Allah Swt. Beruntunglah bagi orang yang menyadari bahwa dunia ini hanya sekadar ladang amal (darul amal), yaitu dengan cara melakukan peningkatan amal ibadah kepada-Nya.
Jadi, hakekat tahun baru itu adalah hijrah (pindah) dari tradisi lama yang penuh dengan kebiadaban dan dosa menuju rida Ilahi. Kemudian menghapus dosa lama (taubat nashuhah) serta membuat daftar kebaikan baru agar hidup ini jadi bermakna. Wallahu a’lam

*Penulis adalah Pengurus FKRM&M KPIK Kec. Koto Tangah Kota Padang

Asmara Subuh; Tradisi dan Curahan Hati Remaja


Oleh: Abdul Rojak Lubis*
Bulan Ramadhan adalah bulan penuh hikmah, maghfirah dan berkah. Oleh karena itu, umat Islam berlomba-lomba melakukan amal kebaikan di bulan Ramadhan, mulai dari salat tarawih, tadarus al-Qur’an, i’tikaf dan berbagai macam ibadah lainnya. Melihat motivasi umat Islam dalam hal beribadah di bulan Ramadhan menyebabkan setan naik pitam (marah), mereka pun tidak tinggal diam. Setan memoles perbuatan buruk dengan indah, cantik dan menarik. Salah satu yang mereka poles adalah ranjau “ asmara subuh”. Ini merupakan fenomena yang sangat trend di kalangan remaja di bulan Ramadhan.
Istilah asmara subuh tidak dikenal dalam Islam, sehingga sulit untuk memberikan definisi. Dan juga tidak bisa dipastikan kapan kata-kata asmara subuh ini mulai dikenal. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asmara diartikan sebagai perasaan senang terhadap lawan jenis. Sedangkan subuh adalah salah satu waktu salat fardhu. Jadi, dapat dipahami bahwa asmara subuh adalah menyalurkan rasa senang terhadap lawan jenis di waktu subuh.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya asmara subuh. Pertama, faktor bawaan, seseorang melakukannya karena kebiasaan mereka dibawa oleh orang tua mereka ketika masih kecil, kemudian berlanjut hingga mereka remaja, tentunya dengan persepsi dan metode yang berbeda. Kedua, ingin menghirup udara segar, tidak bisa disangkal bahwa udara pagi sangat baik bagi kesehatan. Ketiga, ingin iseng atau sekadar bersenang-senang. Keempat, mencari teman, tidak tertutup kemungkinan teman lawan jenis dan berlanjut kepada tingkat pacaran.
 Menurut sebagaian remaja (ABG) bahwa asmara subuh hanya sekadar jalan-jalan sehabis subuh menghabiskan waktu pagi dengan berolahraga agar tidak kelelahan menjalankan ibadah puasa. Ada juga yang berpendapat bahwa asmara subuh dilaksanakan untuk memperbanyak teman, relasi maupun pacar.
Kegiatan muda-mudi yang sering disebut dengan asmara subuh ini masih tetap membudaya dan juga sudah menjadi tradisi di Negara kita. Padahal kegiatan semacam ini hanya menyia-nyikan waktu dan lebih banyak mudharat daripada manfaat serta dapat menodai kesuciaan ibadah puasa.
Asmara subuh yang ditunjukkan para remaja (ABG) dengan berjalan-jalan ke pinggir pantai, menaiki sepeda motor berduaan atau sekadar keliling kota di bulan Ramadhan - menurut mereka merupakan suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan. Ironisnya, remaja putra masih memakai kain sarung dan peci, sementara remaja putrinya juga masih memakai mukena, mereka duduk di atas motor sambil berpelukan, ibarat pengantin baru yang sedang berbulan madu.
Sebelum berangkat, biasanya mereka awali dengan salat subuh berjama’ah di masjid (mushalla). Salat subuh yang mereka laksanakan itu hanya kedok belaka, selepasnya mereka menuju pantai atau tempat yang mereka anggap menyenangkan. Mereka berangkat bersama teman atau pacar (pasangan tidak resmi) dengan gaya berbeda – menggunakan mukena, rapi dengan sajadah bagi perempuan dan juga peci lengkap dengan kain sarung bagi yang pria. Seolah-olah memberi kesan islami atau memberikan gambaran pacaran islami.
Islam mereka jadikan sebagai selimut yang menutupi busuknya perilaku asmara subuh yang mereka lakukan. Tepatlah apa yang disabdakan Rasulullah Saw, “Kam min shaaimin min shiyaamihi illal juu’i wal ‘athas”, artinya betapa banyak orang yang berpuasa yang mereka dapatkan hanya lapar dan dahaga saja. Jelaslah, asmara subuh ala remaja bertentangan dengan ajaran Islam. Apalagi kegiatan ini dilakukan dalam keadaan berpuasa, dikhawatirkan akan merusak atau membatalkan ibadah puasa yang sedang dilaksanakan.
Islam menganjurkan bagi orang yang berpuasa untuk mawas diri dari segala hal yang membatalkannya. Menutup jalan maksiat melalui pandangan, pendengaran, penciuman, sentuhan atau khayalan yang menimbulkan syahwat. Karena dikhawatirkan dapat merusak atau membatalkan ibadah puasa.
Justru itu, tradisi asmara subuh yang selalu dilakukan remaja di bulan Ramadhan bertentangan dengan Islam. Maka langkah yang tepat adalah mencari solusi terhadap permasalahan ini. Orang tua harus mengontrol anaknya, kemudian mengadakan kegiatan keagamaan yang menarik minat mereka untuk berpartisipasi sehingga mereka dapat menghabiskan waktu dalam koridor Islam. Di kota Padang khususnya, diadakan Pesantren Ramadhan yang bertujuan untuk memberikan tambahan pendidikan religius (keagamaan) dan meredam kegiatan asmara subuh. Walllahu a’lam

*Penulis adalah Pengurus FKRM&M
Kel. KPIK Kec. Koto Tangah Padang



Dispensasi Kematian


Oleh Abdul Rojak Lubis

“Setiap manusia punya batas umur, apabila datang ajalnya tidak bisa diundur atau dimajukan sesaatpun” (QS. Al-A’raf: 34).
Kematian merupakan hal yang tidak bisa dielakkan oleh setiap makhluk hidup. Tidak ada cara (usaha) yang bisa dilakukan untuk memanjangkan atau memendekkan umur. Hal ini menunjukkan bahwa kematian (ajal) adalah hak mutlak Allah yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. Setiap manusia yang masih hidup tinggal menunggu giliran kematiannya masing-masing.  
Berbagai macam sikap, manusia dalam menghadapi kematian. Ada yang takut, khawatir, cemas bahkan ada yang rindu dengan kematian. Sebagian manusia mau bayar mahal jika umurnya bisa diperpanjang, karena ia masih ingin hidup lebih lama dan menikmati kehidupan dunia. Namun, ketentuan dari Allah tidak demikian. Secara tegas Allah mengatakan bahwa kematian tidak bisa diundur dan dimajukan. Meskipun demikian, tidak mustahil bagi Allah memanjangkan umur seseorang jika Dia berkehendak. Realitas ini memang pernah terjadi pada masa nabi Adam as.
Ketika nabi Adam as berbincang-bincang dengan seorang pemuda membicarakan tentang pernikahan. Setelah selesai, pemuda tersebut meninggalkan nabi Adam as. Beberapa saat kemudian muncul malaikat maut (Izrail) menghampiri nabi Adam as, ia mengajukan pertanyaan kepada Adam as; “Hai Adam, siapa pemuda tadi”? Dan apa yang kalian bicarakan?. Nabi Adam as menjawab: “Pemuda tersebut adalah muridku sekaligus sahabatku, kami membicarakan tentang pernikahannya yang akan dilaksanakan besok pagi”. Kemudian malaikat Izrail memberikan saran; “sebaiknya pernikahan pemuda itu dilaksanakan nanti malam, karena aku dapat perintah dari Allah akan mencabut nyawanya besok pagi”.
Setelah mendengar saran dari malaikat Izrail, nabi Adam as bingung. Jika disampaikan, pemuda tersebut akan terkejut, kalau dirahasiakan berarti ingkar terhadap amanah. Nabi Adam-pun memikirkan secara matang untuk menemukan keputusan yang sesungguhnya. Akhirnya, nabi Adam as memutuskan akan merahasiakan saran dari malaikat Izrail.
Alhasil, besok paginya acara pernikahan bisa dilaksanakan dengan lancar tanpa ada masalah. Sehingga nabi Adam-pun bingung untuk kedua kalinya. Yang muncul dalam fikirannya adalah rangkaian pertanyaan, “Mungkinkah malaikat Izrail berdusta, bergurau atau bisa jadi malaikat Izrail lupa dengan tugasnya”?.  
“Mustahil menurut akal, karena malaikat adalah makhluk Allah yang paling patuh dan taat dibanding dengan makhluk Allah lainnya. Tidak mungkin malaikat Izrail berdusta, bergurau atau lupa terhadap tugasnya”, fikir Adam.
Yang sangat menarik adalah kedua pasangan suami-isteri itu sampai punya anak dan cucu. Namun, kematian yang akan menghampirinya seperti apa yang dikabarkan oleh malaikat Izrail tak kunjung tiba.   
Untuk menghilangkan kebingungan dan kebimbangan yang dirasakan nabi Adam as, Allah mempertemukannya kembali dengan malaikat Izrail. Saat itulah nabi Adam as menanyakan kepada malaikat Izrail; “Hai Izrail, kenapa tidak jadi nyawa sahabatku kamu cabut”?. Malaikat Izrail menjawab; “Wahai Adam, terjadinya dispensasi kematian terhadap pemuda (sahabatmu) disebabkan sedekah yang ia berikan pada malam hari sebelum hari H pernikahannya”. Inilah yang menyebabkan penundaan kematiannya.
Jika dihubungkan dengan konsep ayat di atas, agaknya bertolak belakang. Karena, ayat di atas menjelaskan  bahwa kematian tidak bisa diundur dan dimajukan. Namun, yang penting untuk diyakini adalah tidak ada yang mustahil bagi Allah jika Dia berkehendak, meskipun mustahil menurut akal manusia.
Uraian kisah di atas mengajak kita untuk merenung dan berfikir betapa bijaksananya Allah dalam membalas niat baik dari hamba-Nya. Menyedekahkan sebagaian harta yang dimilikinya mampu mengubah takdir kematian. Tapi, bukan berarti sedekah mampu memanjangkan umur manusia.
Hal ini hanya sekadar motivasi amal saleh, agar manusia selalu melakukan kebaikan. Karena, kematian tidak seorang-pun yang tahu, kapan dan dimana ia akan mati. Justru itu, dalam menjalani hidup ini, lakukanlah amal saleh agar mati husnul khatimah.
Sungguh!, merugilah orang yang mati dalam kemunkaran dan kemaksiatan. Betapa banyak orang yang mati di meja judi, di bar (pakter) maupun di pangkuan seorang pelacur. Mereka itu mati su’ul khatimah, mudah-mudahan kita tidak tergolong di dalamnya. Wallahu a’lam

Penulis adalah Alumni Fak. Dakwah
IAIN Imam Bonjol Padang

Gembirakan Pelaku Maksiat, Ancam Orang Saleh


Oleh: Abdul Rojak Lubis*

Allah turunkan wahyu kepada hamba-Nya bernama Daud, “Wahai Daud, gembirakan para pendosa, ingatkan orang saleh”. Daud bertanya, “Duhai Tuhanku, bagaimana menggembirakan para pendosa, bagaima mengancam orang saleh?”. Allah berfirman, “Katakan pada pendosa, tiada dosa yang tidak dapat Kuampunkan sepanjang taubat ia lakukan. Katakan pada orang saleh. Janganlah mereka berbangga atas amal perbuatan mereka sebab bila Aku tegakkan keadilan perihal perhitungan-Ku pada seseorang, niscaya akan binasa. Mereka binasa.” (Yusuf Mansur, Hikmah dari Langit: 71).
Dialog ini membuat hati tersentak dan terkejut jika dibaca dengan tidak teliti. Kata-katanya “Gembirakan Pendosa, Ingatkan Orang Saleh”, seolah-olah ada anjuran untuk berbuat dosa dan ada larangan untuk melakukan amal saleh. Padahal tidak demikian. Ini merupakan pesan singkat yang bernuansa dakwah yang dapat menggembirakan hati.

Gembirakan Pelaku Maksiat
Hidup di dunia penuh dengan ujian dan cobaan, baik ujian yang menyenangkan maupun ujian yang menyakitkan. Sebagian orang lulus dalam ujian karena fondasi keimanan yang dimilikinya kokoh dan kuat. Namun, tidak sedikit yang gagal dalam menempuh ujian, karena fondasi keimanan yang dimilikinya goyah dan tidak kuat. Akhirnya, hidupnya penuh dengan kemaksiatan dan kemunkaran yang menyebabkan dirinya gelisah, khawatir dan takut untuk menghadap Tuhannya. Kegelisahan dan kegundahan yang dirasakannya menyebabkan dirinya berlarut dalam kesedihan.
Seharusnya pelaku maksiat tidak perlu bersedih, karena pintu taubat selalu dibuka Allah Swt. sebelum kematian (ajal) menghampiri. Alangkah baiknya, jika lumpur dosa yang melekat diseluruh anggota tubuh kita dibersihkan dengan cara taubat. Karena, sudah saatnya untuk merenungi diri dan senantiasa minta ampunan kepada Allah Swt. Menyadari bahwa siapa pun yang bernama manusia pasti punya kesalahan dan dosa. Tidak ada cara lain, kecuali beristighfar atau permohonan ampunan kepada Allah Swt (taubat nasuha).  
Secara etimologis, taubat berarti kembali. Kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah Swt., atau kebenaran yang disampaikan Rasulullah Saw. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini. Rasulullah Saw. pernah ditanya seorang sahabat, “Apakah penyesalan itu taubat?” Rasulullah Saw. menjawab, “Ya.” (HR. Ibnu Majah).
Perlu diketahui, bahwa taubat dari segala kesalahan dan dosa tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya. Justru, akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. “Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.” (lihat QS: al-Baqarah: 222).
Dalam hal bertaubat dianjurkan untuk disegerakan, tidak menunda atau mengulur-ulur waktu. Hal ini dijelaskan Allah dalam al-Qur’an, "Bersegaralah kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui."( lihat QS. Ali Imran: 133)
Jelaslah, ini merupakan kabar gembira bagi orang yang terlanjur melakukan kemaksiatan dan kemunkaran. Jika seorang hamba memohon ampun atas dosa yang ia perbuat (bertaubat), Allah akan mengampuninya kecuali dosa mempersekutukan Allah (syirik), meskipun dosa itu seluas langit dan bumi. Kemudian, menyesali perbuatan dosa yang telah diperbuat sekaligus membencinya dan berkomitmen tidak akan mengulangi masuk lumpur dosa lagi.
Kerberuntunganlah bagi orang yang telah bertaubat, karena dirinya sudah bersih dari noda maksiat dan dosa. Orang semacam ini akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan. 

Ancam Orang Saleh

Beribadah atau melakukan amal saleh adalah tujuan diciptakan manusia di permukaan bumi ini. Ibadah dan amalan yang disyariatkan Allah itu kegunaannya untuk manusia itu sendiri, demi kebahagian hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Disadari atau tidak, ketika beribadah atau beramal, ada virus yang selalu ingin merusak amal ibadah yang sedang atau sudah kita lakukan, virus tersebut adalah riya.
Riya adalah salah satu virus yang dapat merusak ibadah atau amal seseorang. Maka, jangan berbangga dulu jika diri kita termasuk orang yang rajin beribadah (ahli ibadah). Bisa jadi amal ibadah yang kita lakukan diserang virus yang bernama riya. Justru itu, berhati-hatilah dalam beribadah. Ini adalah ancaman bagi orang yang beramal saleh.
Riya berasal dari kata ru’yah (penglihatan) artinya ingin diperhatikan atau dilihat orang lain. Dan para ulama mendefinisikan riya adalah menginginkan kedudukan dan posisi di hati manusia dengan memperlihatkan berbagai kebaikan kepada mereka. Orang yang dihinggapi penyakit riya merasa bangga jika dipuji amal ibadahnya. Orang semacam ini hanya mencari keridhoan, penghargaan atau pujian di hati manusia semata dalam suatu amal kebaikan atau ibadah yang dilakukannya. Jelaslah, keberadaan riya dalam suatu amal amatlah berbahaya dikarenakan ia dapat menghapuskan pahala dari amal tersebut.
Justru itu, orang yang diserang virus riya harus cepat melakukan pengobatan terhadap dirinya, agar amal ibadah yang dilakukannya semata-mata hanya karena Allah. Pengobatan tersebut adalah belajar untuk meluruskan niat dalam beribadah. Wallahu a’lam    

*Penulis adalah Alumni Fak. Dakwah
IAIN Imam Bonjol Padang

Impian Orang Beriman


Oleh: Abdul Rojak Lubis*


Dan diantara mereka ada yang berdo’a, Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab api neraka” (QS. al-Baqarah: 201).
Selesai salat, do’a ini sering dibaca umat Islam dengan penuh harapan agar diberikan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan do’a penutup (sapu jagat) yang merangkul permintaan secara umum. Setidaknya ada dua permohonan yang terkandung dalam do’a ini, yaitu; permohonan hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat (masuk surga).  

Hidup Bahagia
Tidak ada standar baku untuk mengukur kebahagiaan, karena kebahagiaan sifatnya relatif, sentralnya di hati. Harta, tahta dan wanita hanya sekelumit yang dapat mendatangkan kebahagiaan. Orang kaya yang memiliki harta yang banyak, orang yang mendapat jabatan (tahta) yang tinggi dan orang yang mendapatkan wanita cantik belum tentu bahagia, meskipun ketiganya ia peroleh sekaligus. Bahkan, justru sebaliknya yang ia dapatkan.
Ibnu Abbas ra pernah ditanya para tabi’in tentang kebahagiaan, beliau menjawab dan menjelaskan beberapa faktor yang dapat mendatangkan kebahagiaan. Pertama, Qalbun Syakirun (hati yang selalu bersyukur). Anjuran bersyukur tidak hanya ketika mendapatkan rezki yang banyak atau hidup dalam kondisi sehat dan lapang. Dimana pun dan dalam kondisi apa pun, baik dalam keadaan sehat atau sakit, kaya atau miskin, lapang atau sempit selalu dianjurkan untuk bersyukur.
Tidak bisa dipungkiri, kecendrungan sebagian manusia hanya mampu bersyukur ketika mendapatkan rezki yang banyak, hidup dalam kondisi sehat dan lapang. Padahal, kalau disadari sesungguhnya bahwa mensyukuri nikmat yang diberikan Allah adalah merupakan suatu ibadah. Bahkan, jika manusia itu mau mensyukuri nikmat Allah, maka Allah akan melipatgandakan nikmat baginya. Hal ini dijelaskan Allah dalam al-Qur’an, “Jika kamu mensyukuri nikmat-Ku maka akan Ku tambah dan jika kamu ingkar akan nikmat-Ku, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 6).
Kedua, al-Azwaju Shalihah (pasangan hidup yang saleh). Orang yang mendapatkan pasangan hidup (suami/isteri) yang saleh, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan berumah tangga. Pasangan suami-isteri yang saleh akan mampu mengatakan; “baitii jannatii” artinya rumahku laksana surga bagiku, karena ia mendapatkan ketenangan dan kebahagian di dalam rumahnya. Tapi kalau mendapat pasangan hidup (suami-isteri) yang biadab maka terjadilah “baitii narii”, rumahku laksana neraka bagiku.   
Ketiga, al-Auladun abrar (anak yang saleh). Pasangan suami-isteri yang saleh biasanya akan melahirkan anak yang saleh. Tapi tidak mustahil dari pasangan yang saleh itu akan lahir anak berandalan (bandel). Karena tidak ada jaminan bahwa  kesalehan orang tua akan menurun kepada anaknya. Meskipun demikian, mayoritas orang saleh akan melahirkan anak yang saleh.
Anak yang saleh merupakan aset yang sangat berharga bagi kedua orang tuanya di dunia maupun di akhirat kelak. Anak yang saleh pasti akan berbakti kepada orang tuanya, merawatnya dikala sakit, mendo’akanya jika sudah meninggal dunia. Anak seperti inilah yang selalu didambakan mayoritas orang tua. Berbahagialah orang tua yang beruntung mendapatkan anak yang saleh, karena anak yang saleh salah satu faktor yang mendatangkan kebahagiaan.              
Keempat, al-Biatu shalehah (lingkungan orang-orang saleh). Allah berfirman dalam al-Qur’an; “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf: 96).
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah akan menurunkan keberkahan kepada komunitas penduduk negeri yang beriman, bertakwa dan beramal saleh. Ini merupakan anjuran kepada kita agar bergabung dengan komunitas orang-orang saleh. Jika ingin tinggal pada suatu daerah (negeri), terlebih dahulu yang dilihat adalah tetangga tempat tinggal yang akan ditempati. Karena, lingkungan yang kondusif akan mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan bagi penduduknya.    
Kelima, al-Maalul Halal (harta yang halal). Maksudnya ialah harta yang halal hukumnya, kemudian halal cara mendapatkannya. Rasulullah Saw pernah bersabda; “Thalabul halaali faridhatun ‘alaa kulli musliminiina walmuslimat”, artinya mencari harta yang halal wajib bagi muslim laki-laki maupun perempuan. Anjuran ini mengandung makna filosofis, ternyata mencari harta yang halal, baik halal hukum maupun halal cara mendapatnya mampu membahagiakan pemiliknya.
Jelaslah, harta yang berkah dan yang membahagiakan itu bukanlah tergantung banyaknya harta. Akan tetapi dilihat dari hukumnya dan cara mendapatkannya. Jika harta itu halal dan cara mendapatkannya halal, maka harta yang ia miliki akan berkah. Begitulah sebaliknya, kalau harta yang didapatkannya itu haram atau cara mendapatkannya haram, harta yang ia miliki itu bisa menjadi malapetaka baginya.
Keenam, tafakuh fi al-din (semangat untuk memahami agama). Memahami agama diperoleh melalui proses belajar. Anjuran untuk menuntut ilmu (belajar) diawali dari sejak lahir (buaian) sampai akhir hayat (mati), baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal, ilmu agama maupun ilmu umum.
Mempelajari ilmu agama akan menambah pemahaman seseorang terhadap agama yang dianutnya. Ilmu, semakin ditambah akan semakin kurang, sehingga menimbulkan motivasi dan semangat menuntut ilmu. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menambah ilmu pengetahuan agama yang bertujuan untuk memudahkan pemahaman agama bagi pemeluknya, sekaligus membahagikannya.        
Ketujuh, umur yang berkah, maksudnya adalah umur yang semakin tua semakin bertambah kesalehannnya. Orang yang menghabiskan sisa-sisa umurnya untuk menambah kesalehan, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan. Lain halnya dengan orang yang berwatak “tua-tua keladi, makin tua makin menjadi”, semakin tua moral semakin terpuruk. Orang semacam ini akan mendapatkan kesengsaraan.  
    
Mati Masuk Surga
Mati merupakan salah satu syarat masuk surga. Jika ingin masuk surga harus mengalami kematian terlebih dahulu. Surga adalah alam yang abadi (kekal), ada awalnya tapi tidak ada akhirnya. Di dalamnya akan disajikan berbagai macam kenikmatan untuk penghuninya. Kenikmatan surgawi sulit rasanya untuk menerangkan dengan kata-kata, karena kenikmatan tersebut tiada bandingannya dengan kenikmatan di dunia.
Hal inilah yang mendorong umat Islam termotivasi ingin masuk surga. Namun, perlu diketahui bahwa untuk mendapatnya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Selama hidup di dunia harus bekerja keras mendekatkan diri kepada Allah Swt., rajin beribadah yang bertujuan untuk menggapai ridha-Nya.
Satu hal yang tidak kalah pentingya adalah ibadah yang dilaksanakan, seperti salat, puasa, zakat, haji atau ibadah lainnya bukanlah untuk mendapatkan surganya Allah. Segala ibadah yang dilaksanakan itu bertujuan untuk menggapai ridha Allah. Jika Allah sudah ridha, apapun permintaan hamba-Nya yang saleh pasti akan dikabulkan, termasuk surga.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Tidak akan masuk surga orang yang tidak merasakan surga dunia”. Surga dunia yang dimaksud adalah surga dunia versi orang mukmin bukan surga dunia versi orang kafir. Surga dunia versi orang mukmin adalah mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) dan selalu ingat kepada Allah (dzikrullah). Sedangkan surga dunia versi orang kafir adalah kesenangan sesaat (hedonisme), seperti berfoya-foya, mabuk-mabukan dan berzina.
Sungguh!, sangat beruntung orang yang mendapatkan kebahagian di dunia dan masuk surga di akhirat. Semoga kita termasuk di dalamnya. Wallahu a’lam  



*Penulis adalah Alumni Fak. Dakwah
IAIN Imam Bonjol Padang