Oleh: Abdul Rojak Lubis*
Dan diantara mereka ada yang berdo’a, Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab api neraka” (QS. al-Baqarah: 201).
Selesai salat, do’a ini sering dibaca umat Islam dengan penuh harapan agar diberikan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan do’a penutup (sapu jagat) yang merangkul permintaan secara umum. Setidaknya ada dua permohonan yang terkandung dalam do’a ini, yaitu; permohonan hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat (masuk surga).
Hidup Bahagia
Tidak ada standar baku untuk mengukur kebahagiaan, karena kebahagiaan sifatnya relatif, sentralnya di hati. Harta, tahta dan wanita hanya sekelumit yang dapat mendatangkan kebahagiaan. Orang kaya yang memiliki harta yang banyak, orang yang mendapat jabatan (tahta) yang tinggi dan orang yang mendapatkan wanita cantik belum tentu bahagia, meskipun ketiganya ia peroleh sekaligus. Bahkan, justru sebaliknya yang ia dapatkan.
Ibnu Abbas ra pernah ditanya para tabi’in tentang kebahagiaan, beliau menjawab dan menjelaskan beberapa faktor yang dapat mendatangkan kebahagiaan. Pertama, Qalbun Syakirun (hati yang selalu bersyukur). Anjuran bersyukur tidak hanya ketika mendapatkan rezki yang banyak atau hidup dalam kondisi sehat dan lapang. Dimana pun dan dalam kondisi apa pun, baik dalam keadaan sehat atau sakit, kaya atau miskin, lapang atau sempit selalu dianjurkan untuk bersyukur.
Tidak bisa dipungkiri, kecendrungan sebagian manusia hanya mampu bersyukur ketika mendapatkan rezki yang banyak, hidup dalam kondisi sehat dan lapang. Padahal, kalau disadari sesungguhnya bahwa mensyukuri nikmat yang diberikan Allah adalah merupakan suatu ibadah. Bahkan, jika manusia itu mau mensyukuri nikmat Allah, maka Allah akan melipatgandakan nikmat baginya. Hal ini dijelaskan Allah dalam al-Qur’an, “Jika kamu mensyukuri nikmat-Ku maka akan Ku tambah dan jika kamu ingkar akan nikmat-Ku, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 6).
Kedua, al-Azwaju Shalihah (pasangan hidup yang saleh). Orang yang mendapatkan pasangan hidup (suami/isteri) yang saleh, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan berumah tangga. Pasangan suami-isteri yang saleh akan mampu mengatakan; “baitii jannatii” artinya rumahku laksana surga bagiku, karena ia mendapatkan ketenangan dan kebahagian di dalam rumahnya. Tapi kalau mendapat pasangan hidup (suami-isteri) yang biadab maka terjadilah “baitii narii”, rumahku laksana neraka bagiku.
Ketiga, al-Auladun abrar (anak yang saleh). Pasangan suami-isteri yang saleh biasanya akan melahirkan anak yang saleh. Tapi tidak mustahil dari pasangan yang saleh itu akan lahir anak berandalan (bandel). Karena tidak ada jaminan bahwa kesalehan orang tua akan menurun kepada anaknya. Meskipun demikian, mayoritas orang saleh akan melahirkan anak yang saleh.
Anak yang saleh merupakan aset yang sangat berharga bagi kedua orang tuanya di dunia maupun di akhirat kelak. Anak yang saleh pasti akan berbakti kepada orang tuanya, merawatnya dikala sakit, mendo’akanya jika sudah meninggal dunia. Anak seperti inilah yang selalu didambakan mayoritas orang tua. Berbahagialah orang tua yang beruntung mendapatkan anak yang saleh, karena anak yang saleh salah satu faktor yang mendatangkan kebahagiaan.
Keempat, al-Biatu shalehah (lingkungan orang-orang saleh). Allah berfirman dalam al-Qur’an; “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf: 96).
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah akan menurunkan keberkahan kepada komunitas penduduk negeri yang beriman, bertakwa dan beramal saleh. Ini merupakan anjuran kepada kita agar bergabung dengan komunitas orang-orang saleh. Jika ingin tinggal pada suatu daerah (negeri), terlebih dahulu yang dilihat adalah tetangga tempat tinggal yang akan ditempati. Karena, lingkungan yang kondusif akan mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan bagi penduduknya.
Kelima, al-Maalul Halal (harta yang halal). Maksudnya ialah harta yang halal hukumnya, kemudian halal cara mendapatkannya. Rasulullah Saw pernah bersabda; “Thalabul halaali faridhatun ‘alaa kulli musliminiina walmuslimat”, artinya mencari harta yang halal wajib bagi muslim laki-laki maupun perempuan. Anjuran ini mengandung makna filosofis, ternyata mencari harta yang halal, baik halal hukum maupun halal cara mendapatnya mampu membahagiakan pemiliknya.
Jelaslah, harta yang berkah dan yang membahagiakan itu bukanlah tergantung banyaknya harta. Akan tetapi dilihat dari hukumnya dan cara mendapatkannya. Jika harta itu halal dan cara mendapatkannya halal, maka harta yang ia miliki akan berkah. Begitulah sebaliknya, kalau harta yang didapatkannya itu haram atau cara mendapatkannya haram, harta yang ia miliki itu bisa menjadi malapetaka baginya.
Keenam, tafakuh fi al-din (semangat untuk memahami agama). Memahami agama diperoleh melalui proses belajar. Anjuran untuk menuntut ilmu (belajar) diawali dari sejak lahir (buaian) sampai akhir hayat (mati), baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal, ilmu agama maupun ilmu umum.
Mempelajari ilmu agama akan menambah pemahaman seseorang terhadap agama yang dianutnya. Ilmu, semakin ditambah akan semakin kurang, sehingga menimbulkan motivasi dan semangat menuntut ilmu. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menambah ilmu pengetahuan agama yang bertujuan untuk memudahkan pemahaman agama bagi pemeluknya, sekaligus membahagikannya.
Ketujuh, umur yang berkah, maksudnya adalah umur yang semakin tua semakin bertambah kesalehannnya. Orang yang menghabiskan sisa-sisa umurnya untuk menambah kesalehan, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan. Lain halnya dengan orang yang berwatak “tua-tua keladi, makin tua makin menjadi”, semakin tua moral semakin terpuruk. Orang semacam ini akan mendapatkan kesengsaraan.
Mati Masuk Surga
Mati merupakan salah satu syarat masuk surga. Jika ingin masuk surga harus mengalami kematian terlebih dahulu. Surga adalah alam yang abadi (kekal), ada awalnya tapi tidak ada akhirnya. Di dalamnya akan disajikan berbagai macam kenikmatan untuk penghuninya. Kenikmatan surgawi sulit rasanya untuk menerangkan dengan kata-kata, karena kenikmatan tersebut tiada bandingannya dengan kenikmatan di dunia.
Hal inilah yang mendorong umat Islam termotivasi ingin masuk surga. Namun, perlu diketahui bahwa untuk mendapatnya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Selama hidup di dunia harus bekerja keras mendekatkan diri kepada Allah Swt., rajin beribadah yang bertujuan untuk menggapai ridha-Nya.
Satu hal yang tidak kalah pentingya adalah ibadah yang dilaksanakan, seperti salat, puasa, zakat, haji atau ibadah lainnya bukanlah untuk mendapatkan surganya Allah. Segala ibadah yang dilaksanakan itu bertujuan untuk menggapai ridha Allah. Jika Allah sudah ridha, apapun permintaan hamba-Nya yang saleh pasti akan dikabulkan, termasuk surga.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Tidak akan masuk surga orang yang tidak merasakan surga dunia”. Surga dunia yang dimaksud adalah surga dunia versi orang mukmin bukan surga dunia versi orang kafir. Surga dunia versi orang mukmin adalah mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) dan selalu ingat kepada Allah (dzikrullah). Sedangkan surga dunia versi orang kafir adalah kesenangan sesaat (hedonisme), seperti berfoya-foya, mabuk-mabukan dan berzina.
Sungguh!, sangat beruntung orang yang mendapatkan kebahagian di dunia dan masuk surga di akhirat. Semoga kita termasuk di dalamnya. Wallahu a’lam
*Penulis adalah Alumni Fak. Dakwah
IAIN Imam Bonjol Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar